Koran Tempo Gak Ada, ya di Jogja?
“Koran Temponya satu, Pak,” spontan saya tanyakan kepada seorang penjaja koran di tengah siang yang membahagiakan untuk para pengusaha penatu.
Sejak pagi sekali saya berangkat meninggalkan kasur yang setia. Dalam perjalanan yang selalu saya gunakan untuk mendengarkan atau memikirkan sesuatu itu, saya tetiba saja mengidam koran bak seorang ibu hamil yang menginginkan mangga masam di siang hari bolong. Itu pun spesifik. Koran Tempo.
Saya dan koran sebenarnya tidak punya romansa spesial sejak dulu. Paling-paling hanya dengan koran Bola dan Soccer yang selalu saya pinta saat masih berada di sekolah dasar. Itu pun hanya karena menginginkan lembaran poster berwarnanya.
Selain tentu sedikit membaca kolom prediksi pertandingan akhir pekan. Karena rasanya tidak enak juga kalau saya yang sudah berhasil mengelabui membujuk ibu saya untuk membelikan Bola atau Soccer, lalu yang diambil cuma posternya. Sambil perlahan menghafalkan nama pemain bola seperti Scholes, Ballack, Pizzaro, Lizarazu, Nedved, macam-macam. Iya, selain menghafal doa dan surat pendek seperti bocah SD kebanyakan, saya juga mulai menghafal nama pemain bola sejak belia.
Saya memang tidak dibesarkan di keluarga yang gemar mengonsumsi koran tiap hari. Kedua orang tua saya bukan penggila koran. Paling sesekali saja yang sampai sekarang saya tidak kenali pemicu kenapa bapak adakalanya membawa koran sepulang kerja.
Perihal mendapatkan berita dan informasi terkini, orang tua saya menggantungkan nasibnya pada Dunia Dalam Berita TVRI pukul 9 malam yang membosankan dengan musik pembuka yang masih saja terngiang hingga sekarang. Menontonnya hingga pukul setengah 10, sedikit menggerutu dengan kabar yang buruk melulu, dan memutuskan untuk tidur setelah itu.
Lalu kenapa tau-tau saja Koran Tempo yang didamba?
Semenjak Majalah Tempo yang kembali kritis bukan main dan begitu asik –yang ternyata menjalar dan melebar hingga ke redaksi koran– dan dilengkapi dengan ilustrasi jenius, cerdik, nan menggelitik, rasanya penasaran betul ingin mencermati huruf demi huruf di dalam koran tersebut.
“Kenapa bukan majalahnya?”
Saya rasa kalian pun paham permasalahan utama saya mengurungkan niat untuk memicu candu terhadap Majalah Tempo. Sebab itu saya lebih memilih Koran Tempo. Dengan keeksotisan yang sekilas sepadan, mengudapnya di sela kesibukan jelas membahagiakan. Ketimbang harus melakukan bersih-bersih dompet saban hari untuk sebuah majalah. Ketimbang harus mengonsumsi media-media absurd yang hobi sekali menceritakan kebiasaan aneh Nia Ramadhani, yang membuat saya tidak habis pikir sampai saat ini.
Apa jangan-jangan di salah satu bagian rumahnya ada kamar khusus untuk beberapa awak media yang selalu siap sedia ketika salah satu penghuni rumah tergelak atas tingkahnya? Lalu kemudian sang wartawan pun bergegas mencari sumber suara dan menjadikannya sebuah berita yang entah siapa yang menganggap itu penting.
Eh, kenapa jadi ghibah begini? Kembali menyoal Koran Tempo.
“Koran Tempo cuma di Jakarta mas, gak nyampe Jogja,” jawab bapak tua yang tiap hari mondar-mandir di perempatan Kentungan dengan tumpukan koran yang digendong manja layaknya anak sendiri.
Dalam sejenang saya terdiam seperti terhipnotis. Memilih koran lain untuk dibeli dan dengan segera menyodorkan beberapa lembar uang sebelum lampu merah berganti menjadi hijau dan saya menjadi biang keonaran pengendara lainnya.
Motor saya kembali saya pacu setelah itu. Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, saya seringkali bergumam sembari berpikir di tengah berkendara. Apakah benar ya Koran Tempo tidak sampai Jogja peredarannya? Padahal isinya sedang begitu menarik dan menggoda. Bukan cuma untuk saya. Begitu juga rekan saya lainnya yang sempat melontarkan puji dan kagum atasnya. Belum sempat terjawab, pikiran saya dengan cepat sudah beralih ke pertanyaan selanjutnya.
Lalu ke mana saya –dan teman-teman lain khususnya– hendak membaca berita-berita eksentrik dan ajaib?
Sebenarnya saya hendak menawarkan beberapa opsi jawaban. Setidaknya untuk kawan-kawan saya yang merasa ingin membaca Koran Tempo namun belum dapat menggapainya.
Pertama, sejak tulisan ini diterbitkan, laman yang sedang kawan-kawan baca akan semakin giat memberikan tulisan. Apapun itu. Walaupun sebenarnya, saya tidak yakin ada yang peduli.
Kedua, salah satu media favorit saya, UGMtoday, akan menjadi lebih trengginas tahun ini. Walaupun masih menggunakan laman Instagram, saya yakin UGMtoday tidak pernah semembosankan itu.
Walaupun di lain sisi, saya juga akan memberikan beberapa peringatan.
Pertama, berharap pada manusia (baca: pengelola laman yang sedang kawan-kawan baca) hanya akan berakhir kecewa.
Kedua, walau jelas sekali tidak se-ciamik Tempo beserta para famili, tapi setidaknya saya menjamin UGMtoday tidak akan membahas kehidupan Nia Ramadhani.